KOMPAS.com - Bermodal nekat dan berbekal ilmu pelatihan kilat, Slamet Pudjianto menjalankan usaha pengolahan ikan untuk diambil kandungan albuminnya (salah satu kadar protein). Usaha dengan teknologi baru ini mampu menghadirkan produk bernilai tinggi. Secara perlahan usaha rumahannya mulai diserap pasar.
Slamet mungkin bukan orang yang mumpuni dalam soal perikanan. Dia juga tidak punya keahlian dalam urusan laboratorium. Tapi, ia membuktikan bahwa kemauan keras bisa mendatangkan usaha baru yang lebih menarik.
Usaha pembuatan albumin diawali saat ia diajak mengikuti pelatihan Dinas Perikanan. Slamet yang sebelumnya sudah bergelut dengan dunia perikanan melalui Kelompok Tani Ikan Agrobis Sumber Jaya Dusun Telogo Satu, Desa Telogo, Kecamatan Kanigoro, Blitar, tergerak membuat usaha baru.
Bukan hal yang mudah mengawali usaha pembuatan albumin ini. Slamet dibantu istri dan saudara-saudaranya melakukan percobaan dan riset sejak tahun 2008, sampai akhirnya baru benar-benar memproduksi albumin di tahun 2011.
Perlu dilakukan banyak penelitian dan percobaan untuk memperoleh hasil dengan komposisi yang tepat dalam memproduksi albumin dari bahan baku ikan gabus atau ikan kutuk.
Setelah produksi albumin mendapat komposisi yang pas, Slamet mulai berani menawarkan hasilnya. Namun, ia harus bersusah payah mendapat kepercayaan agar ada orang yang mau membeli produknya itu. "Di masa-masa awal kami masih melakukan produksi berdasarkan pesanan saja," terang bapak dua anak ini mengenai produknya yang berlabel Saikanku.
Perlahan tapi pasti, produknya mulai dikenal pasar. Belum genap satu tahun produk Saikanku sudah mendapat kepercayaan. Kini, Slamet bersama timnya sudah bisa memasok produk albumin ke beberapa kota seperti Malang dan Surabaya. Produksi albumin berjalan rutin, tak lagi harus menunggu pesanan masuk.
"Selain karena kepepet, kami bersemangat menjalankan usaha ini karena melihat bagaimana kondisi pasien yang membutuhkan albumin," ujar Slamet.
Empatinya bukan hanya dalam menjual, Slamet dan istrinya bahkan pernah turut menangani pasien saat praktik kerja. Selain rasa keprihatinan pada pasien yang butuh albumin, melecut semangatnya membuat produk Saikanku.
Usaha itu juga setidaknya memberi nilai tambah bagi produk ikan gabus yang selama ini hanya dijual di pasar dan memberi tambahan pendapatan bagi kelompok tani ikan.
"Saya bersyukur, sekarang kelompok tani kami tak hanya menjual benih ikan atau menjual ikan pada pelanggan, tapi bisa menjadi penyuplai albumin yang otomatis makin banyak butuh ikan gabus," terang Slamet.
Ketika industri olahan ikan banyak berkutat pada usaha pengawetan dan pengemasan ikan untuk dijual kembali, usaha rumahan Slamet Pudjianto justru membuat olahan ikan 'bernilai lebih'. Lewat riset dan alat sederhana, produksi albumin berlabel Saikanku sudah berlangsung rutin.
Meski berupa industri kecil, Slamet dan timnya di perusahaan Denta Cahya Abadi terus melakukan riset. Maklum, kandungan gizi ikan gabus mengandung nilai protein 25,5 persen dan albumin (6,2 persen).
Untuk penambahan gizi pada balita dapat disesuaikan berdasarkan berat badan. Berat balita 7-9 kg diberikan konsumsi 100 gram ikan gabus segar/hari. Berat balita 10-12 kg diberikan konsumsi 150 gram ikan gabus segar/hari. Berat balita 13-15 kg diberikan konsumsi 200 gram ikan gabus segar/hari.
Bangsa China menjadikan ikan gabus sebagai obat penyembuh luka bakar dan luka bekas operasi. Albumin dalam ikan gabus merupakan prediktor terbaik untuk harapan hidup penderita suatu penyakit.
Albumin di rumah sakit disuplai dari preparat albumin kadar 25 persen, dengan harga sekitar Rp 2 juta/ampul. Setiap pasien rata-rata membutuhkan 4 (empat) ampul. "Bukan hanya sebagai obat, kami riset agar albumin bisa untuk minuman," tutur Slamet.
Awalnya, banyak yang tidak suka karena amis. Untuk menghilangkan citra amis itu, dicampurlaha rasa buah. Minuman albumin Saikanku tersedia dalam empat rasa buah, yakni jeruk, jambu, leci dan stroberi.
Menurut Slamet, dia dan timnya butuh percobaan ke anak-anak dulu. Kalau kemudian diterima dan suka, berarti yang dewasa bisa menerimanya. Strategi ini menjual minuman rasa buah berhasil mendongkrak penjualan.
Saat ini, rata-rata produksi albumin dari Denta Cahya Abadi mencapai 300 pak per bulan. Setiap satu pak berisi dua botol dengan volume 24 ml. Dengan kata lain, dalam sebulan, rata-rata 14.500 ml albumin. "Jumlah produksi itu rata-rata semuanya juga habis terserap pasar," tutur suami Ukhti Rifa'ah ini.
Slamet membutuhkan 1 kg ikan gabus untuk memperoleh setiap 50 ml albumin. Penanganan saat pengolahan dan perlakuan selama pemeliharaan ikan memiliki peran penting agar mendapat komposisi albumin yang baik. Produk Saikanku dijual ke pasar dengan harga Rp 75.000. Bila semua terserap pasar, Slamet mampu meraup omzet sekitar Rp 22,5 juta.
Bersama istri, adik sepupunya, Afendi dan tim, Slamet berusaha meningkatkan kapasitas produksi karena sudah membuka jaringan distribusi dan penjualan di beberapa daerah. Selain Blitar, produk Saikanku juga diminati di Surabaya dan Malang. Bahkan mereka mulai masuk pasar di Jakarta, Jogja dan Mataram. "Kami target kapasitas produksi hingga 1.000 pak per bulan," tandas Slamet. (Dyan Rekohadi/Surya)
Sumber :
Editor :
Erlangga Djumena
Anda sedang membaca artikel tentang
Slamet, Nekat Setelah Pelatihan Kilat
Dengan url
http://coffeeasoy.blogspot.com/2012/12/slamet-nekat-setelah-pelatihan-kilat.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Slamet, Nekat Setelah Pelatihan Kilat
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Slamet, Nekat Setelah Pelatihan Kilat
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar