KOMPAS.com - Ancaman terpuruknya popularitas Partai Demokrat melanggengkan tradisi tiadanya kekuatan politik di negeri ini yang mampu mengikat loyalitas pemilihnya. Tak lebih dari dua kali pemilu, popularitas partai politik ambruk. Bestian Nainggolan
Mudah saja publik memilih suatu parpol, tetapi dengan mudah pula mengempaskannya. Partai pun lebih terlihat seperti rumah politik yang dibangun di atas pasir, teramat rapuh. Kondisi semacam inilah yang menjadi karakter khas para pemilih dan parpol di negeri ini sebagaimana ditunjukkan dari berbagai hasil survei Kompas selama ini. Jika survei-survei pemilu masa lampau bertutur betapa rapuhnya dukungan pemilih terhadap partai-partai pemenang pemilu, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golongan Karya, survei nasional saat ini pun mengungkap persoalan yang sama. Namun, fokus permasalahan saat ini adalah Partai Demokrat.
Berdasarkan hasil survei, jika pemilu dilakukan sekarang, partai politik yang didirikan dan dibina Susilo Bambang Yudhoyono ini hanya diminati lebih-kurang 11 persen responden. Proporsi demikian merosot cukup jauh dari puncak perolehannya pada Pemilu 2009 lalu, sebesar 20,8 persen. Dengan tingkat keterpilihan responden sebesar ini, peluang Demokrat untuk kembali memenangi pemilu terancam pudar.
Konfigurasi persaingan kali ini memang sangat nyata mengancam Demokrat. Di satu sisi, pada posisi papan atas popularitas partai, para pesaing dekatnya, Golkar dan PDI-P, relatif lebih siap menggantikan posisi Demokrat. Saat ini, Golkar populer dengan peminat 15,2 persen responden, sementara PDI-P diminati 13,4 persen.
Di sisi lain, agresivitas parpol yang tergolong baru, khususnya Gerindra, berpeluang pula menyalip posisi Demokrat. Gerindra, menurut hasil survei ini, diminati sekitar 6 persen responden. Dengan memperhatikan besar-kecilnya margin of error survei (+/- 2,6 persen) dan tren penurunan ataupun peningkatan popularitas kedua partai selama ini, bukan perkara mustahil Gerindra menjadi ancaman Demokrat.
Sumber petaka
Merosotnya dukungan terhadap partai yang sebelumnya memenangi Pemilu 2009 ini menyisakan berbagai pertanyaan, di antaranya ke mana dukungan pemilih itu selanjutnya ditujukan? Berdasarkan hasil survei, setidaknya terlacak dua pola migrasi pemilih. Pertama, mereka yang mengalihkan dukungannya kepada parpol lain. Tidak kurang dari separuh responden yang meninggalkan Demokrat masuk dalam kelompok ini. Golkar, PDI-P, dan Gerindra merupakan parpol yang menjadi tempat perhentian selanjutnya. Kedua, separuh responden lain yang hingga saat ini belum menyatakan pilihan. Sebagian dari kelompok ini masih menunggu serta sebagian lain cenderung apatis dan menganggap tidak lagi tertarik kepada parpol.
Jika ditelisik, mudahnya pengalihan dukungan dari satu partai ke partai lain disebabkan alasan pragmatis. Bagi responden survei ini, misalnya, tidak ada manfaat langsung ataupun tidak langsung yang dirasakan responden setelah memilih partai umumnya menjadi penyebab terbesar meninggalkan partai. Semula, parpol dipandang sebagai lorong harapan. Apalagi, munculnya figur pemimpin partai yang dianggap menjanjikan menjadi daya tarik utama publik memilih partai.
Berjalannya waktu, kalkulasi dan evaluasi publik pun berlangsung. Pada periode krusial inilah partai tidak mampu menjawab ekspektasi masyarakat. Dalam kasus Demokrat, keterpurukan partai terlihat cukup kompleks dan berlangsung dalam saat yang bersamaan. Di satu sisi, mereka yang mengaku meninggalkan Demokrat sebagian besar menganggap kinerja partai ini sangat tidak memuaskan. Jurang ekspektasi dan realisasi terlalu lebar. Mereka yang berdomisili di perkotaan tampak dominan, yang kini menjadi sumber terbesar melorotnya dukungan terhadap partai ini.
Di sisi lain, yang menjadi pertimbangan utama responden meninggalkan Demokrat justru meredupnya sumber kekuatan utama partai, yaitu eksistensi para aktor Demokrat, baik sosok pendiri maupun jajaran pengurus partai. Saat ini, sosok-sosok pimpinan partai dinilai tidak mampu membuktikan dirinya sebagai sosok yang patut diapresiasi, baik dari sisi kinerja maupun karakter kepemimpinannya. Presiden Yudhoyono, misalnya, sekalipun citranya di mata sebagian besar responden masih relatif positif, dari sisi kinerja pemerintahan selama dua periode kepemimpinannya dinilai kurang memuaskan.
Meredupnya penilaian terhadap kinerja Yudhoyono semakin diperparah oleh persepsi publik yang sangat negatif terhadap jajaran kepengurusan partai. Dugaan keterlibatan para petinggi partai dalam beragam kasus korupsi dipandang sangat kontras dengan jargon perjuangan partai yang antikorupsi. Tidak mengherankan jika lebih dari separuh responden yang mengaku memilih Demokrat pada Pemilu 2009 lalu kini menyesalkan pilihannya saat itu dan memilih meninggalkan partai ini.
Kungkungan kasus-kasus korupsi yang menyandera partai tampaknya bukan hanya sebatas penurunan popularitas partai. Saat ini, partai pun harus bergulat menghadapi besarnya resistensi masyarakat. Hasil survei ini, misalnya, menempatkan Demokrat sebagai partai yang paling tidak diharapkan responden untuk memenangi pemilu. Dibandingkan dengan resistensi publik terhadap Golkar dan PDI-P yang sebelumnya juga pernah memiliki pengalaman memenangi pemilu, apa yang dihadapi Demokrat tergolong mengkhawatirkan.
Sikap antipati publik terhadap partai melebihi proporsi responden yang loyal terhadap partai ini. Dengan kondisi demikian, hanya upaya yang tergolong radikal yang harus dilakukan partai dalam membendung keterpurukannya.(Litbang Kompas)
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Anda sedang membaca artikel tentang
Demokrat Genapi Tradisi
Dengan url
http://coffeeasoy.blogspot.com/2012/12/demokrat-genapi-tradisi.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Demokrat Genapi Tradisi
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar